TKI INDONESIA |
RIBUAN tenaga kerja Indonesia (TKI), yang telantar di Arab Saudi, akhirnya kembali ke Tanah Air. Sebagian dari mereka dipulangkan dengan menggunakan kapal laut dan sebagian lainnya dengan pesawat udara.
Pada Rabu (4/5) lalu, KM Labobar milik PT Pelni yang mengangkut 2.349 TKI tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan 55 TKI lainnya, pada hari yang sama, juga mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Semua TKI yang dipulangkan dari Arab Saudi itu bermasalah. Umumnya izin tinggal mereka sudah kedaluwarsa dan tak punya uang untuk kembali ke Tanah Air sehingga hidup menggelandang.
Kepulangan TKI itu jelas hasil upaya keras pemerintah. Pemerintah telah menunjukkan sebagian tanggung jawabnya terhadap anak bangsanya sendiri.
Namun, kepulangan para TKI itu tak otomatis membuat mereka bebas dari berbagai persoalan. Satu perkara sudah jelas mereka akan menjadi penganggur di negeri sendiri.
Persoalan lain menyangkut derita ibu dan anak seumur hidup. Bayangkan, dari ribuan TKI yang dipulangkan itu, 123 di antaranya dalam keadaan hamil. Bahkan, tiga dari mereka terpaksa melahirkan di kapal. Padahal, ketika mereka berangkat ke Arab Saudi sebagian berstatus gadis atau kalaupun sudah menikah mereka tidak membawa suami ke Arab Saudi. Jadi, kehamilan mereka jelas akibat perlakuan tidak senonoh di Arab Saudi.
Kekerasan seksual hanyalah sebagian penderitaan yang dialami TKI. Penderitaan lainnya gaji tidak dibayar, diperas, disiksa, hingga dibunuh. Celakanya, kisah pilu TKI itu terus berulang.
Yang konyol, negara tetap membiarkan TKI berbondong-bondong ke Arab Saudi sekalipun pemerintah setempat menolak untuk membuat perjanjian yang memberikan jaminan perlindungan bagi tenaga kerja asing.
Lebih celaka lagi, negara seperti tidak berdaya memberikan perlindungan terhadap TKI yang mengalami beragam penderitaan itu. Padahal, basis yuridis sudah dibuat begitu hebat seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Dalam Pasal 5 ayat 1, misalnya, disebutkan bahwa pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Lalu, pada Pasal 6 ditegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.
Sayangnya, kehebatan pasal-pasal itu cuma di atas kertas, tapi tidak di realitas. Buktinya, petaka kemanusiaan yang dialami TKI terus berkepanjangan.
Setidaknya ada dua perihal rasa malu yang harus diajukan mengenai TKI ini. Pertama, mengapa pemerintah tidak malu, mengekspor TKI yang kemudian pulang dalam keadaan hamil dan membawa anak tanpa ayah?
Kedua, mengapa pemerintah tidak malu gagal menciptakan lapangan kerja?
Bukankah menciptakan lapangan kerja tanggung jawab negara?
MOTIVATOR TODAY :