Romantisme Orde Baru

SETIAP kali Orde Reformasi diperingati pada 20 Mei, setiap kali itu pula muncul gugatan bahwa reformasi belum membawa perubahan seperti yang diharapkan. Ada yang bahkan ekstrem menilai reformasi telah mati suri.

Hasil survei, yang dilakukan Indo Barometer terhadap 1.200 responden berusia 17 tahun ke atas di 33 provinsi pada 25 April-4 Mei 2011, malah menyebutkan kondisi Orde Baru lebih baik daripada masa Orde Reformasi.

Perinciannya 28,2% responden menyatakan kondisi saat ini lebih buruk jika dibandingkan dengan sebelum reformasi, sedangkan 27,2% mengatakan kondisi sekarang sama saja dengan sebelum reformasi. Hanya 22,8% yang menyebutkan kondisi saat ini lebih baik daripada sebelum reformasi.

Selain itu, tingkat ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono terus menurun. Ketidakpuasan itu terutama pada bidang ekonomi (41,2%) dan hukum (46,7%).

Harus kita akui bahwa memang masih banyak perkara besar yang dihadapi bangsa ini yang belum berhasil dibereskan di era reformasi ini. Kemiskinan, misalnya, tak kunjung cepat bisa diselesaikan dan dituntaskan. Masih banyak anak bangsa yang terbelenggu oleh kemiskinan.

Korupsi juga tidak ada habis-habisnya kendati terus dikikis. Bahkan sebaliknya, megaskandal kasus korupsi dari waktu ke waktu terus bermunculan. Celakanya, selain banyak kasus megakorupsi yang tenggelam atau tidak terungkap tuntas, penegakan hukum juga melempem. Tengoklah penanganan kasus Bank Century dan mafia pajak, yang cuma menyeret pelaku-pelaku kelas teri.

Jadi, selama lebih dari 13 tahun reformasi belum mampu sepenuhnya mewujudkan Indonesia baru. Demokrasi yang dibangun bahkan terseret ke pusaran transaksional.

Namun, kendati reformasi masih mengundang berbagai gugatan, kembali ke masa Orde Baru jelaslah bukan pilihan. Kita, misalnya, tidak ingin kebebasan berpendapat kembali dibelenggu, pers diberedel, kaum oposisi dijebloskan ke penjara, dan orang bisa menjadi presiden selama 30 tahun.

Masih banyak yang harus dibenahi. Termasuk kualitas pemimpin bangsa, jangan sampai sejarah kemudian mencatat pemimpin di masa reformasi lebih buruk daripada Pak Harto.